Bulan April adalah bulannya pelajar tingkat akhir, pada bulan
April diselenggarakan Ujian Nasional (UN) secara serentak diseluruh Indonesia
yang dijadikan pintu kelulusan pelajar di Indonesia (Kata Pak Mentri sih
begitu). Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas pro kotra tentang perlu atau
tidaknya dilaksanakan UN (biarlah waktu yang menjawabnya), namun saya akan
membahas fenomena perayaan kelulusan yang dilakukan oleh pelajar tingkat SMA
dan SMP.
Sebagaimana kita ketahui fenomena unik tingkah laku pelajar
tingkat akhir selalu terulang setiap tahunnya pada musim UN. Kita sering mendengar
berita aktifitas siswa sebelum pelaksanaan UN mereka mengadakan doa bersama
dengan khusuk, istighosah, acara nagis-nangisan bahkan ada yang minta restu
orang tuanya dengan gerakan cuci kaki ortu berjamaah (padahal dicucikan piring
setiap hari ortu lebih terbantu); pada hari pelaksanaan UN ramai diberitakan
berburu kunci jawaban agar sukses UN tanpa mikir, kabarnya kunci jawaban bisa
di download dari guru disekolahan pada malam hari atau pagi hari sekali, terlepas
ini mitos atau fakta saya kembalikan pada kepercayaan anda masing-masing, dan inilah
yang menjadi pembahasan setelah UN selesai mereka turun jalan konvoi menguasai
jalanan (kalau dicegat polisi bilang aja anak jendral biar aman) memamerkan
seragam loreng-loreng model baru mereka sudah mirip Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Jalanan (TNI-AJ).
Buat kalian adik-adikku yang belum tau sejarahnya
coret-coretan saya kasih penjelasan singkat, fenomena coret-coretan seragam ini
sudah dimulai pada tahun 1990an dan kini makin berkembang menjadi lebih
bervariasi yang mana pada tahun 1990an hanya menggunakan spidol permanen dengan
coretan tandatangan, namun sekarang alat coret mereka sudah lebih canggih yaitu
cat semprot seperti filok mungkin 10 tahun lagi menggunakan aspal atau obat
tato biar terlihat lebih garang. Peningkatan lainnya kalau pada tahun 1990
sampai tahun 2010an aksi coret-coretan dilaksanakan setelah pengumuman
kelulusan biasanya seminggu setelah pelaksanaan UN, namun beberapa tahun
terakhir aksi coret-coretan banyak digelar setelah selesai UN mereka langsung
seleberasi coret sana coret sini, selang 1 minggu mereka mencari seragam baru
(nggak tau bagaimana nasibnya siswa hany hanya punya 1 sragam) untuk menggelar
kembali coret-coretan part 2 bagi yang lulus kalau yang gak lulus harus rela
hanya bisa mengikuti seleberasi tahap satu.
Aksi coret-coretan secara terbuka dan besar-besaran pasca
kelulusan hanya ditemui dikalangan pelajar tingkat SMP dan SMA tidak dilakukan
oleh lulusan perguruan tinggi, mulai lulusan D1 – S3 nyaris tidak pernah
diberitakan melakukan coret-coretan pada saat kelulusanya. Lalu mengapa lulusan
perguruan tinggi tidak melakukan perayaan dengan coret-coretan? saya akan
membahas beberapa alasan yang berdasarkan fakta yang terindra pada kelulusan
level sargana.
1. Energi Terkuras
Kondisi
kelulusan di perguruan tinggi cenderung lebih rumit halus melewati berbagai
fase mulai dari A-Z kalau diibaratkan sudah seperti alur metamorphosis dari
telor berubah menjadi ulat berubah lagi menjadi kepompong hingga akhirnya menjadi
kupu-kupu. Biasanya gelar sarjana harus ditebus dengan menghabiskan 148 SKS,
menyusun skripsi, ujian komprehensip, tes kejuruan, tes teofl ngumpulkan berkas
ini-itu. Setelah mereka dinyatakan lulus mereka telah lelah energinya terkuras
sehingga tidak lagi punya hasrat coret-coretan. Coret-coretan cukup diwakili
oleh puluhan kali coretan pulpen merah dosen penguji dan dosen pembimbing pada
skripsinya.
2. Terkuras Keuangan
Mahasiswa
biasanya menerima gaji (kiriman ortu) bersifat bulanan dengan besaran UMR. Gaji
bulanan mayoritas mahasiswa terkesan stagnan pada satu titik, sulit meningkat
walaupun di semester tingkat akhir kondisi ini berbeda dengan nilai tukar
dollar terhadap rupiah yang mudah meningkat. Padahal kebutuhan mahasiswa tingkat
akhir ini bisa dibilang perlu gaji tambahan hingga beberapa kali lipat
mengingat pengeluaran yang ekstra seperti untuk membayar bimbingan, test toefl,
biaya penelitian, print, bayar wisuda, transportasi, bayar ujian, sewa hotel
untuk keluarga pas wisuda dan pengeluaran lainya. Kondisi financial seperti ini
juga telah membunuh hasrat mereka untuk membeli cat smprot dan coret-coretan.
3. Kelulusan adalah
Awal Perjuangan
Status
baru yang disandang seperti halnya gelar sarjana yang mengikuti dibelakan nama
mereka menjadikannya beban moral (Asep yang selslu tersakiti nama facebook,
menjadi Asep. SE nama sarjana). Perubahan status gelar tersebut menunt
peningkatan kualitas diri dari segi financial harus mulai mandiri dihadapkan dengan
persaingan melamar kerja dan persaingan melamar istri, memulai bisnis dan
memikirkan kelanjutan studi. Mindset ini juga telah melenyapkan hasrat mereka
untuk melakukan aksi coret-coretan.
4. Coret-coretan
hanya Untuk Perubahan
Mahasiswa
juga seringkali melakukan aksi coret-coretan pada spanduk tidak pada seragam
atau pakaian kuliah yang masih bisa digunakan dan bisa diwariskan tujuh turunan.
Coretan pada spanduk yang berupa tulisan aspirasi pada pemerintah atau keritik control
terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Coretan ini terlihat lebih
terarah dan berbobot untuk sebuah perubahan yang dirasakan oleh masyarakat luas
dan jelas tidak akan dimarahi ibu ketika pulang kerumah karena yang dicoret-coret
adalah spanduk bukan seragamnya.
Itulah 4 alasan kenapa kelulusan mahasiswa tidak
diekspresikan dengan aksi coret-coretan, saya dapat menyimpulkan kedewasaan
mahasiswa dalam hal ini layak diacungi jempol. Untuk kalian para siswa yang belum
merasakan dunia perkuliahan yang akan menghilangkan hasrat untuk coret-coretan setidaknya
dengan membaca artiel ini menjadi gambaran. Adapun kesimpulannya saya serahkan
kepada masing-masing pembaca, apakah setuju dengan coret-coretan karena hak
individu atau tidak setuju karena tidak ada manfaatnya. Keputusan ada pada anda.
No comments:
Post a Comment