08 April 2016

Aksi Kelulusan Pelajar VS Kelulusan Mahasiswa

Bulan April adalah bulannya pelajar tingkat akhir, pada bulan April diselenggarakan Ujian Nasional (UN) secara serentak diseluruh Indonesia yang dijadikan pintu kelulusan pelajar di Indonesia (Kata Pak Mentri sih begitu). Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas pro kotra tentang perlu atau tidaknya dilaksanakan UN (biarlah waktu yang menjawabnya), namun saya akan membahas fenomena perayaan kelulusan yang dilakukan oleh pelajar tingkat SMA dan SMP.
Sebagaimana kita ketahui fenomena unik tingkah laku pelajar tingkat akhir selalu terulang setiap tahunnya pada musim UN. Kita sering mendengar berita aktifitas siswa sebelum pelaksanaan UN mereka mengadakan doa bersama dengan khusuk, istighosah, acara nagis-nangisan bahkan ada yang minta restu orang tuanya dengan gerakan cuci kaki ortu berjamaah (padahal dicucikan piring setiap hari ortu lebih terbantu); pada hari pelaksanaan UN ramai diberitakan berburu kunci jawaban agar sukses UN tanpa mikir, kabarnya kunci jawaban bisa di download dari guru disekolahan pada malam hari atau pagi hari sekali, terlepas ini mitos atau fakta saya kembalikan pada kepercayaan anda masing-masing, dan inilah yang menjadi pembahasan setelah UN selesai mereka turun jalan konvoi menguasai jalanan (kalau dicegat polisi bilang aja anak jendral biar aman) memamerkan seragam loreng-loreng model baru mereka sudah mirip Tentara Nasional Indonesia Angkatan Jalanan (TNI-AJ).
Buat kalian adik-adikku yang belum tau sejarahnya coret-coretan saya kasih penjelasan singkat, fenomena coret-coretan seragam ini sudah dimulai pada tahun 1990an dan kini makin berkembang menjadi lebih bervariasi yang mana pada tahun 1990an hanya menggunakan spidol permanen dengan coretan tandatangan, namun sekarang alat coret mereka sudah lebih canggih yaitu cat semprot seperti filok mungkin 10 tahun lagi menggunakan aspal atau obat tato biar terlihat lebih garang. Peningkatan lainnya kalau pada tahun 1990 sampai tahun 2010an aksi coret-coretan dilaksanakan setelah pengumuman kelulusan biasanya seminggu setelah pelaksanaan UN, namun beberapa tahun terakhir aksi coret-coretan banyak digelar setelah selesai UN mereka langsung seleberasi coret sana coret sini, selang 1 minggu mereka mencari seragam baru (nggak tau bagaimana nasibnya siswa hany hanya punya 1 sragam) untuk menggelar kembali coret-coretan part 2 bagi yang lulus kalau yang gak lulus harus rela hanya bisa mengikuti seleberasi tahap satu.
Aksi coret-coretan secara terbuka dan besar-besaran pasca kelulusan hanya ditemui dikalangan pelajar tingkat SMP dan SMA tidak dilakukan oleh lulusan perguruan tinggi, mulai lulusan D1 – S3 nyaris tidak pernah diberitakan melakukan coret-coretan pada saat kelulusanya. Lalu mengapa lulusan perguruan tinggi tidak melakukan perayaan dengan coret-coretan? saya akan membahas beberapa alasan yang berdasarkan fakta yang terindra pada kelulusan level sargana.
1.      Energi Terkuras
Kondisi kelulusan di perguruan tinggi cenderung lebih rumit halus melewati berbagai fase mulai dari A-Z kalau diibaratkan sudah seperti alur metamorphosis dari telor berubah menjadi ulat berubah lagi menjadi kepompong hingga akhirnya menjadi kupu-kupu. Biasanya gelar sarjana harus ditebus dengan menghabiskan 148 SKS, menyusun skripsi, ujian komprehensip, tes kejuruan, tes teofl ngumpulkan berkas ini-itu. Setelah mereka dinyatakan lulus mereka telah lelah energinya terkuras sehingga tidak lagi punya hasrat coret-coretan. Coret-coretan cukup diwakili oleh puluhan kali coretan pulpen merah dosen penguji dan dosen pembimbing pada skripsinya.
2.      Terkuras Keuangan
Mahasiswa biasanya menerima gaji (kiriman ortu) bersifat bulanan dengan besaran UMR. Gaji bulanan mayoritas mahasiswa terkesan stagnan pada satu titik, sulit meningkat walaupun di semester tingkat akhir kondisi ini berbeda dengan nilai tukar dollar terhadap rupiah yang mudah meningkat. Padahal kebutuhan mahasiswa tingkat akhir ini bisa dibilang perlu gaji tambahan hingga beberapa kali lipat mengingat pengeluaran yang ekstra seperti untuk membayar bimbingan, test toefl, biaya penelitian, print, bayar wisuda, transportasi, bayar ujian, sewa hotel untuk keluarga pas wisuda dan pengeluaran lainya. Kondisi financial seperti ini juga telah membunuh hasrat mereka untuk membeli cat smprot dan coret-coretan.
3.      Kelulusan adalah Awal Perjuangan
Status baru yang disandang seperti halnya gelar sarjana yang mengikuti dibelakan nama mereka menjadikannya beban moral (Asep yang selslu tersakiti nama facebook, menjadi Asep. SE nama sarjana). Perubahan status gelar tersebut menunt peningkatan kualitas diri dari segi financial  harus mulai mandiri dihadapkan dengan persaingan melamar kerja dan persaingan melamar istri, memulai bisnis dan memikirkan kelanjutan studi. Mindset ini juga telah melenyapkan hasrat mereka untuk melakukan aksi coret-coretan.
4.      Coret-coretan hanya Untuk Perubahan
Mahasiswa juga seringkali melakukan aksi coret-coretan pada spanduk tidak pada seragam atau pakaian kuliah yang masih bisa digunakan dan bisa diwariskan tujuh turunan. Coretan pada spanduk yang berupa tulisan aspirasi pada pemerintah atau keritik control terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Coretan ini terlihat lebih terarah dan berbobot untuk sebuah perubahan yang dirasakan oleh masyarakat luas dan jelas tidak akan dimarahi ibu ketika pulang kerumah karena yang dicoret-coret adalah spanduk bukan seragamnya.
Itulah 4 alasan kenapa kelulusan mahasiswa tidak diekspresikan dengan aksi coret-coretan, saya dapat menyimpulkan kedewasaan mahasiswa dalam hal ini layak diacungi jempol. Untuk kalian para siswa yang belum merasakan dunia perkuliahan yang akan menghilangkan hasrat untuk coret-coretan setidaknya dengan membaca artiel ini menjadi gambaran. Adapun kesimpulannya saya serahkan kepada masing-masing pembaca, apakah setuju dengan coret-coretan karena hak individu atau tidak setuju karena tidak ada manfaatnya. Keputusan ada pada anda.

No comments:

Post a Comment